Mengapa Sjafruddin memilih menggunakan istilah ketua
daripada presiden PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia). Dia pun kerap
disebut sebagai presiden yang dilupakan.
Ketika Sukarno, Mohammad Hatta, dan pimpinan negara
lain ditangkap Belanda pada agresi militer kedua, Sjafruddin dan tokoh-tokoh
Sumatera membentuk PDRI. PDRI berdiri dari 19 Desember 1948 hingga 13 Juli
1949. Sedangkan Assaat ditunjuk sebagai penjabat (acting) presiden Republik
Indonesia (27 Desember 1949-15 Agustus 1950) ketika Sukarno menjadi presiden
Republik Indonesia Serikat pada 16 Desember 1949.
Jika Assaat disebut sebagai acting (penjabat),
mengapa Sjafruddin menyebut dirinya “ketua” PDRI?
Menurut Ajip Rosidi dalam biografi Sjafruddin
Prawiranegara, Lebih Takut Kepada Allah Swt., istilah yang dipakai adalah
“ketua”, padahal tanggungjawabnya adalah sebagai presiden merangkap perdana
menteri. Dia tidak mau memakai istilah yang secara hukum harus disandangnya
itu, walaupun dia tahu bahwa kedudukan “ketua” tidak dikenal dalam UUD Republik
Indonesia.
Rupanya, alasan Sjafruddin memakai istilah “ketua”
karena telegram yang dikirim oleh Sukarno-Hatta tidak sampai kepadanya.
Telegram tertanggal 19 Desember 1948 itu menugaskan “Mr. Sjafruddin
Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia, untuk membentuk
Pemerintahan Republik Indonesia Darurat di Sumatera.”
Menurut Ajip, telegram tersebut tidak sampai ke
Sjafruddin karena Belanda yang menyerbu Yogyakarta, memusnahkan stasiun radio
dan kantor telekomunikasi.
Oleh karena itu, Sjafruddin mengungkapkan kepada
harian Pelita, 6 Desember 1978: “Mengapa saya tidak menamakan diri Presiden
Republik Indonesia tetapi Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia? Yang
demikian itu disebabkan karena saya belum mengetahui adanya mandat Presiden
Sukarno, dan karena didorong rasa keprihatinan dan kerendahan hati…Tetapi andai
kata saya tahu tentang adanya mandat tadi, niscaya saya akan menggunakan istilah
‘Presiden Republik Indonesia’ untuk menunjukkan pangkat dan jabatan saya…Dengan
istilah Ketua PDRI sebenarnya saya seorang Presiden Republik Indonesia dengan
segala kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh UUD 1945 dan diperkuat oleh
mandat Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta, yang pada waktu itu tidak
dapat bertindak sebagai Presiden dan Wakil Presiden.”
Sumber : Historia.id