Dikutip dari laman facebook kata-kata hikmah dengan
judul postingan
*JEJAK KEISLAMAN
KARTINI*
*YANG BELUM BANYAK DIKETAHUI*
Tertanggal 21 April 2017 bertepatan dengan hari
kartini
Dalam suratnya kepada
Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis;
"Mengenai agamaku,
Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran
agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku
Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak
boleh memahaminya?"
"Alquran terlalu
suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami
setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini,
orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca".
"Aku pikir, adalah
gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya
engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya".
"Aku pikir, tidak
jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah
begitu Stella?"
RA Kartini melanjutkan
curhat-nya, tapi kali ini dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim
ke Ny Abendanon.
"Dan waktu itu aku
tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku
tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan
dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya".
"Jangan-jangan,
guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku
akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kitab ini teralu suci, sehingga kami
tidak boleh mengerti apa artinya".
Nyonya Fadhila Sholeh,
cucu Kyai Sholeh Darat, menceritakan pertemuan RA. Kartini dengan Kyai Sholeh
bin Umar dari Darat, Semarang — lebih dikenal dengan sebutan Kyai Sholeh Darat
dan menuliskan kisah tsb sbb:
Takdir, menurut Ny
Fadihila Sholeh, mempertemukan Kartini dengan Kyai Sholel Darat. Pertemuan
terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat,
yang juga pamannya.
Kyai Sholeh Darat
memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang
pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kyai Sholeh
Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang
penceramah.
Ini bisa dipahami
karena selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu
makna ayat-ayat itu.
Setelah pengajian,
Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Sang
paman tak bisa mengelak, karena Kartini merengek-rengek seperti anak kecil.
Berikut dialog Kartini-Kyai Sholeh.
“Kyai, perkenankan saya
bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?”
Kartini membuka dialog.
Kyai Sholeh tertegun,
tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik
bertanya.
“Kyai, selama hidupku
baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama
dan induk Alquran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.
Kyai Sholeh tertegun.
Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan; “Bukan
buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini
para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa
Jawa. Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi
manusia?”
Dialog berhenti sampai
di situ. Ny Fadhila menulis Kyai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali
subhanallah. Kartini telah menggugah kesadaran Kyai Sholeh untuk melakukan
pekerjaan besar; menerjemahkan Alquran ke dalam Bahasa Jawa.
Setelah pertemuan itu,
Kyai Sholeh menerjemahkan ayat demi ayat, juz demi juz. Sebanyak 13 juz
terjemahan diberikan sebagai hadiah perkawinan Kartini. Kartini menyebutnya
sebagai kado pernikahan yang tidak bisa dinilai manusia.
Surat yang
diterjemahkan Kyai Sholeh adalah Al Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kartini
mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Sayangnya,
Kartini tidak pernah mendapat terjemahan ayat-ayat berikut, karena Kyai Sholeh
meninggal dunia.
Kyai Sholeh membawa
Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Pandangan Kartini tentang Barat
(baca: Eropa) berubah. Perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902
kepada Ny Abendanon.
"Sudah lewat
masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik,
tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna?
Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat
banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban".
"Tidak sekali-kali
kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau
orang Jawa kebarat-baratan".
Dalam suratnya kepada
Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis; "Saya bertekad dan
berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah.
Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai
agama disun dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini
menulis; “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah
SWT."
RA Kartini pernah punya
pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Guru ngajinya memarahinya
karena dia bertanya tentang arti sebuah ayat Al-Qur’an. Ketika mengikuti
pengajian Kiai Soleh Darat di pendopo Kabupaten Demak yang bupatinya adalah
pamannya sendiri, RA Kartini sangat tertarik dengan Kiai Soleh Darat. Saat itu
beliau sedang mengajarkan tafsir Surat Al-Fatihah.
RA Kartini lantas
meminta romo gurunya itu agar Al-Qur'an diterjemahkan. Karena menurutnya tidak
ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya. Pada waktu itu
penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan Al-Qur’an. Dan para
ulama waktu juga mengharamkannya. Mbah Shaleh Darat menentang larangan ini.
Karena permintaan Kartini itu, dan panggilan untuk berdakwah, beliau
menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf Arab pegon sehingga tak
dicurigai penjajah.
Kitab tafsir dan
terjemahan Al-Qur’an itu diberi nama Faidh al-Rahman fi Tafsir Al-Qur’an.
Tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Jilid pertama
yang terdiri dari 13 juz. Mulai dari surat Al-Fatihah sampai surat Ibrahim.
Kitab itu
dihadiahkannya kepada RA Kartini sebagai kado pernikahannya dengan RM
Joyodiningrat, Bupati Rembang. Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti
yang sesungguhnya.
Kartini amat menyukai
hadiah itu dan mengatakan: “Selama ini al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak
mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang
sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam
bahasa Jawa yang saya pahami.”
Melalui kitab itu pula
Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya. Yaitu Surat Al-Baqarah
ayat 257 yang mencantumkan, bahwa Allah-lah yang telah membimbing orang-orang
beriman dari gelap kepada cahaya (Minadh-Dhulumaati ilan Nuur).
Kartini terkesan dengan
kalimat Minadh-Dhulumaati ilan Nuur yang berarti dari gelap kepada cahaya
karena ia merasakan sendiri proses perubahan dirinya.
Kisah ini sahih,
dinukil dari Prof KH Musa al-Mahfudz Yogyakarta, dari Kiai Muhammad Demak,
menantu sekaligus staf ahli Kiai Soleh Darat.
Dalam surat-suratnya
kepada sahabat Belanda-nya, JH Abendanon, Kartini banyak sekali mengulang-ulang
kalimat “Dari Gelap Kepada Cahaya” ini. Sayangnya, istilah “Dari Gelap Kepada
Cahaya” yang dalam Bahasa Belanda “Door Duisternis Tot Licht” menjadi
kehilangan maknanya setelah diterjemahkan Armijn Pane dengan kalimat “Habis
Gelap Terbitlah Terang”.
Mr. Abendanon yang
mengumpulkan surat-surat Kartini menjadikan kata-kata tersebut sebagai judul
dari kumpulan surat Kartini. Tentu saja ia tidak menyadari bahwa kata-kata
tersebut sebenarnya dipetik dari Al-Qur’an. Kata “Minazh-Zhulumaati ilan-Nuur“
dalam bahasa Arab tersebut, tidak lain, merupakan inti dari dakwah Islam yang
artinya: (Membawa manusia) Dari kegelapan kepada cahaya (Islam)
"Selamat Hari
Kartini"
Semoga
Allah memberikan ampunan dan rahmatNya kpd ibu kita Kartini... Aamiin ya Robbal
'Aalamiin..