Jendral Gatot Nurmantyo (Belajar Dari Panglima Besar Soedirman)

“Anda sangat luar biasa pak, anda memang MERAKYAT, anda mau sama2 merasakan berkahnya air hujan bersama rakyat, Salam hormat saya untuk bapak yg pakai peci PUTIH
Gambar : Wall FB salah seorang teman (roni kuncoro)
Setalah aksi 212 kemarin, saya sering melihat caption yang diatas, baik itu di facebook maupun instagram. Caption tersebut mempunyai daya tarik tersendiri bagi saya, daya tarik tersebut memunculkan rasa ingin tahu, siapa sih sebenarnya yang pake peci putih itu, yang jelas beliau adalah panglima TNI sekarang. Tapi bagaimana sih biography dan jenjang karir beliau di militer.
Akibat rasa ingin tahu yang mendalam, maka saya pun langsung meluncur ke TKP (Google), untuk melihat secuil informasi mengenai diri beliau. Perjalanan saya untuk mencari tahu siapa beliaupun membuahkan hasil, dan saya pun malahan ikut terkagum-kagum dengan beliau. Ayah beliau yang mengidolakan Jendral gatot subroto tidak salah memberikan nama kepada beliau dengan nama Gatot.
Jendral gatot lahir di Tegal, Jawa Tengah pada tanggal 13 maret 1960. Beliau menamatkan pendidikannya di Akademi militer pada tahun 1982, beliau berkarir di TNI Angkatan Darat. Sebelum menjadi jendral beliau sempat menjabat sebagai Panglima Komando Strategi Angkatan Darat kemudia berlanjut menjadi Kepala Staff Angkatan Darat dan di tahun 2015 resmi menjadi Panglima TNI.
Banyak hal yang membuat saya kagum dengan beliau, yang pertama beliau menjadi anggota KOPASSUS tertua. Beliau resmi menjadi bagian dari pasukan khusus ini setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan di pusdikpassus di batujajar, Jawa Barat. Beliau akhirnya menunaikan Janji kepada Ibunda. Karena semasa hidup ibunda beliau meminta untuk menjadi anggota kopassus. Namun, sayang beliau tidak bisa memenuhinya hingga akhir beliau. Maka setelah beliau resmi menjadi bagian dari KOPASSUS, beliau  langsung terbang ke pemakaman orangtuanya menyampaikan bahwa amanah itu sudah dilaksanakan. Itu merupakan wujud bakti anak kepada orangtuanya.
Kemudian saya kagum ketika mendengar pidato beliau di youtube dalam memperingati hari santri pada tanggal 22 Oktober 2015. Beliau mengingatkan saya akan sosok Panglima Besa Jendral Soedirmarman. Berikut kutipan pidatonya dari channel Youtube yang saya kutip dari komprominews.com :
 Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh
Yang terhormat, Ketua-ketua umum ormas Islam, Tokoh tokoh lintas agama, Para pejabat pemerintah daerah dan para pejabat TNI Polri. Para Ulama-Santri segenap para alim ulama para Kiai, hadirin undangan yang bebahagia.
Tidak ada yang pantas kita ucapkan selaian puja dan puji syukur kehadirat Allah Swt. Karena hanya atas kuasa dan ridhonya kita dapat hadir dalam acara peringatan 70 tahun resolusi jihad Nahdlatul Ulama di Tugu Proklamasi yang memiliki nilai stratagis.
Dalam kesempatan ini perlu saya jelaskan, mengapa begitu saya diundang saya hadir di sini. Saya datang tidak sendirian, saya datang dengan dengan pasukan-pasukan khusus. Ada Kopasus, ada Marinir, ada Paskas, ada Kostrad, ada Armed. Ini untuk mengingatkan genrasi muda, bahwa perjuangan bangsa sejak proklamasi kemerdekaan tidak dilakukan oleh TNI, tetapi yang merebut kemerdekaan adalah seluruh komponen bangsa, termasuk para ulama. Setelah merdeka baru TNI lahir. Jadi yang memerdekakan bangsa Indonesia bukan TNI, tetapi bapak-ibu kandung TNI, sehingga TNI adalah anak kandung rakyat. Karena sejarah mencatat rangkaian peristiwa ini, bersentuhan langsung dengan kedaulatan Republik Indonesia, terdapat 4 peristiwa penting yang saling memengaruhi dan saling menguatkan yaitu: peristiwa tanggal 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan Republik Indonesia. 5 Oktober hari pembentukan TKR sekarang TNI. 22 Oktober sebagai hari dicetuskannya resolusi jihad NU. Dan 10 Nopember pecahnya perang di Surabaya yang kita kenal sebagai hari pahlawan hanya dalam hitungan empat bulan.
Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan rasa hormat dan apresiasi yang tinggi terhadap semangat dan motivasi yang ditunjukkan para santri sebagai generasi muda bangsa yang terus memelihara dan meneguhkan komitmennya terhadap perjuangan para pahlawan serta kecintaan pada tanah air, salah satunya diwujudkan pada gerak jalan memperingati resolusi jihad yang menempuh jarak ratusan kilometer diawali dari tugu pahlwan di Surabaya dan sampai di tugu proklamasi di Jakarta. Hadirin undangan, peserta gerak jalan yang berbahagia
Setelah tujuh puluh tahun berlalu, hikmah dan pelajaran yang diperoleh dari peristiwa resolusi jihad antara lain: bahwa perjuangan melawan penjajah saat itu, terkait erat dengan resolusi jihad yang dikumandangkan oleh Rais Akbar NU KH. Hasyim Asyari pada tanggal 22 Oktober 1945. Bangsa penjajah tidak rela negeri ini merdeka sehingga berusaha untuk menguasai kembali tanah air kita. NICA membonceng sekutu untuk menguasai tanah air Indonesia, namun hal itu diketahui oleh para pejuang kemerdekaan dan ditindaklanjuti dengan merapatkan barisan untuk menolak kedatangan kolonialis. Untuk itu para santri berkumpul di seluruh wilayah Jawa, Madura, seluruh Jawa mereka mengatur langkah strategi perjuangan sebagai kewajiban mempertahankan tanah air dan bangsanya.
Dan pada tanggal 17 september 1945, Presiden Sokarno, memohon fatwa hukum mempertahankan kemerdekaan bagi umat Islam kepada KH. Hasyim Asyari, sehingga KH. Hasyim Asyari mengeluarkan sebuah fatwa jihad yang berisikan jihad bahwa perjuangan membela tanah air adalah merupakan jihad fi sabilillah.
Dan selanjutnya menilai situasi di sekitar Surabaya Jawa Timur, atas pemikiran Mayor Jenderal TKR pada waktu itu, Mustopo, sebagai komandan sektor perlawaan Surabaya, bersama Sungkono, Bung Tomo dan tokoh-tokoh Jawa Timur menghadap KH. Hasyim Asyari untuk melakukan perang suci atau jihad dengan sasaran mengusir sekutu dan NICA yang dipimpin oleh Brigjend Mallaby untuk menunjukkan eksistensi adanya perlawanan dan kedaulatan Republik Indonesia. Mengapa demikian, karena pada saat memprokalamasikan kemerdekaan republik Indonesia 17 Agustus 1945, banyak bangsa-bangsa dunia dan PBB belum yakin apakah perjuangan kemerdekaan bangsa ini diberi hadiah oleh penjajah ataukah perlawanan rakyat. Untuk itu makna perjuangan 10 Nopember mempunyai makna yang luar biasa, bahwa bangsa Indonesia bukan diberi tapi melawan mengusir penjajah. Maka lahirlah resolusi jihad 22 Oktober 1945 yaitu berperang menolak dan melawan penjajah itu fardhu ain yang dikerjakan oleh setiap orang Islam laki-laki, perempuan, anak-anak bersenjata atau tidak. Bagi yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh. Bagi orang-orang yang berada di luar jarak lingkaran tadi kewajiban itu menjadi fardhu kifayah yang cukup kalau dikerjakan sebagian saja untuk membantu perjuangan di wilayahnya.
Tanpa resolusi jihad, maka tidak ada perlawanan heroik. Jika tidak ada perlawanan heroik maka tidak ada hari pahlawan 10 Nopember. Dan bisa mungkin mustahil bangsa Indonesia ada seperti saat ini.
Saya ingin pula menceritakan bahwa sebenarnya, perlawanan secara heroik bukan dilaksanakan tanggal 10, tetapi lebih awal. Jadi pada saat itu KH. Hasyim Asyari menyampaikan ”kita tunda, kita menunggu singa Jawa Barat, yaitu Kiai Abbas bin Abdul Jamil” beliau adalah cicit dari Mbah Muqoyyim pendiri pesantren Buntet Cirebon.
Dan KH. Hasyim Asyari memerintahkan setelah Kiai Abbas bin Abdul Jamil datang, memerintahkan bahwa komando tertinggi Laskar Hizbullah diserahkan untuk memimpin langsung penyerangan sekutu di Surabaya pada tanggal 10 Nopember 1945.
Pengaruh yang kuat membuat keputusan KH. Hasyim Asyari tersebut mengundurkan waktu sangat tepat. Sehingga terjadilah pertempuran yang sangat heroik yang kita kenal hari ini menjadi hari pahlawan. Hari ini mempunyai makna yang bisa kita petik bahwa peristiwa tersebut, bahwa perjuangan dan kepentingan mempertahankan kedaulatan negara berdimensi lintas etnis dan lintas wilayah. Siapapun dan dimanapun mempunyai kewajiban yang sama membela bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam kesempatan ini pula saya ingin mengingatkan, dan menggaris bawahi bahwa perjuangan kemerdekaan resolusi jihad, hari pahlawan, dan TNI memiliki hubungan historis yang erat dan menentukan. Kita tahu bahwa panglima TNI yang abadi, yang pertama, yaitu Jendral Sudirman, adalah seorang guru agama, seorang santri. Saya sedikit menceritakan bagaimana perjuangan Jenderal Sudirman. Bahwa pada saat Jenderal Sudirman bersama belasan orang melakukan gerilya, ada satu orang penghianat. Maka pada saat Jenderal Sudirman di rumah penduduk, karena penghianat ini melaporkan kepada Belanda, dikepung. Tim pengamanan paling depan melaporkan “pak Dhe kita sudah dikepung”
“Tenang semuanya ganti pakian, dan berdzikir bersama-sama saya” melakukan tahlil Lailahaillah, Lailahaillah, Lailahaillah.
Belanda masuk ditunjukkan anak buahnya Pak Dirman, “Ini yang namanya Sudirman, yang Tuan cari-cari selama ini” dilihat-lihat “Saya tidak percaya ini Sudirman”
“Pak Saya anak buahnya, saya bersama-sama bergerilya” dilihat-lihat lagi, tapi tetap tidak percaya.
Belanda itu mencabut pistol “Kamu pembohong” dan penghianat itu ditembak di depan Pak Dirman. Makna ini mengingatkan jangan sekali-kali kita menjadi penghianat bangsa. Baru di dunia saja sudah dihukum oleh Allah apalagi di akhirat nanti.
Kemudian, peristiwa demi peristiwa Pak Dirman dikawal oleh Pak Cokromanolo, dan Pak Suprajo Rustam. Beliau berdua Pak Cokromanolo dan Pak Rustam, karena saking penasarannya bertanya. Pak Dirman kadang-kadang dipanggl Pak Dhe kadang-kadang dipanggil Pak Yai. “Pak Yai, saya pingin tahu, jimatnya Pak Yai itu apa? Kita dikepung Pak Yai tenang saja, amalah penghianat yang ditembak. Kita ditembaki, Pak Yai tenang-tenang saja”.
Beliau menjawab “Kamu ingin tahu? Saya punya tiga jimat. Jimat yang pertama, saya tidak pernah lepas dari bersuci. Jadi kalau batal wudlu kamu kan bawa kendi saya, saya selalu berwudlu. Itu jimat yang pertama. Jimat yang kedua saya tidak pernah salat tidak pernah tidak tepat waktu. Selalu bersih, waktuny salat saya pasti salat, kamu tahu kan? Dan yang ketiga, jimat saya yang kegita adalah semua yang saya lakukan dengan tulus dan ikhlas untuk rakyat dan bangsa Indonesia.”
Wasslamua’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Mudah-mudah an beliau meneruskan apa yang dilakukan pendahulunya yaitu Bapak Jendral Soedirman dan Juga Bapak Jendral Abdul Haris Nasution yang menanamkan nilai-nilai keislaman di dalam tubuh prajurit salah satu bukti penanaman nilai islam yang dilakukan Bapak Gatot adalah me-legalkan pemakaian jilbab dikalangan prajurit perempuan.
Video lengkapnya : KLIK DISINI
Pak Gatot Insya allah saya akan mendukung bapak J



Share:

No comments:

Post a Comment

Recent Posts

Sponsorship